Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Fiksi

Ketika Malaikat Maut Menjemput

Ponselku berdering, nomor tak dikenal terlihat di layar. Ragu kuangkat, namun rasa penasaran merasuk. Akhirnya kusentuh tombol hijau di layar. "Assalamualaikum," sapaku. "Waalaikumsalam," sahutnya, "dengan Pak Fulan bin Fulan?" "Betul. Ada yang bisa saya bantu?" jawabku. "Saya Izrail. Besok pagi bapak akan saya jemput," ujarnya tegas. "Izrail? Dijemput? Anda ini siapa?" "Saya Malaikat Izrail." "Anda jangan bercanda!" "Saya tidak bercanda. Malaikat tidak pernah bercanda." "Ke.. kenapa saya? Saya masih muda. Saya masih belum benar ibadahnya. Saya belum mapan. Saya masih punya tanggungan istri dan anak yang masih kecil. Saya belum berbakti penuh pada orangtua. Bahkan saya masih memiliki nenek berusia sangat lanjut. Mengapa tidak beliau duluan?" bertubi-tubi pertanyaan kuajukan mengikuti rasa kagetku. "Maaf saya hanya menjalankan perintah. Tertulis di sini anda akan dijemput besok pagi

Kisah Seorang Anak: Bunda Tiada, Ayah Tak Berguna

Bunda tiada, ayah tak berguna Memiliki orangtua yang lengkap dan penuh kasih sayang adalah harapan semua anak. Namun tidak semua anak beruntung memiliki orangtua yang baik ataupun bisa mendampingi hingga usia tua. Inilah kisah seorang anak kecil usia 8 tahun yang baru beberapa bulan ditinggal ibunda tercinta. Sebut saja namanya Diysar. Sejak dalam kandungan ia sudah kehilangan kasih sayang sang ayah. Menurut cerita bundanya, ayahnya sedang mabuk cinta dengan WIL saat itu, sehingga selama hamil sang bunda hanya bisa membatin. Bahkan saat kelahiran Diysar sang ayah tak mendampingi. Saat Diysar menginjak usia 2 thn, sang bunda melarikan ia dan kakaknya dari rumah kakek neneknya (mertua). Hal ini dilakukan karena sang Bunda sudah tidak tahan lagi menanggung beban perasaan melihat perilaku sang ayah, perlakuan kakek neneknya yang tak nyaman, dan hal lain. Diysar yang sangat belia saat itu belum mengerti apa-apa, baginya yang terpenting bersama sang bunda, itu sudah cukup. Saat tiba di tanah

Cerpen: Ibuku, Tuhanku (Part 3 - End)

... Kami pindah lagi ke daerah lain karena atasanku tahu sampinganku yang menjadi pergunjingan di kantor. Aku terima saja kenyataan seperti ini, memang sudah sepantasnya. Surgaku nampak kurus sekali. Aku tahu ia letih menangis dan juga letih bersabar. Tapi setiap aku membelai rambutnya senyum itu tak pernah pudar. Surgaku, sungguh hanya kamu yang bisa membuatku benar-benar bahagia. Kuharap kamu bersabar suatu saat aku akan lepas dari semua ini dan kamulah yang akan kubahagiakan. Di daerah baru ini tidak senyaman sebelumnya. Tak mudah bagiku mendapatkan pekerjaan baru. Surgaku berusaha membantu semampu dia. Di sela-sela pencarian kerja, aku tertarik dengan seorang wanita di daerah ini. Bukan karena cantiknya atau seksi tubuhnya yang mempesonaku tapi hartanya. Ya iya adalah istri dari seorang saudagar mapan dan juga putri dari keluarga yang sangat kaya. Aku berusaha mendekati dan merayunya demi Tuhanku yang semakin menggerogoti diriku. Seperti dugaanku wanita itu

Cerpen: Ibuku, Tuhanku (Part 2)

..... Dan akhirnya kami tiba di kota baru, tempat kami akan tinggal. Aku tahu ini bukan penyelesaian masalah justru masalah baru, tapi sudahlah aku hanya ingin menyelamatkan diri dan keluargaku. Di kota baru ini aku bekerja lagi dan berharap bisa menjadi orang baik. Namun ternyata di sini pun neraka masih mengejarku. Lagi-lagi Ibu menuntut uang dan aku sungguh tak punya cara lain selain tindak kejahatan. Aku berilmu pada seseorang. Ilmu hitam. Dari sana aku belajar menjadi semacam paranormal dan menunjukkan pada masyarakat aku bisa mengobati penyakit apapun. Surgaku bingung dengan pekerjaan sampinganku, namun aku tahu ia tidak akan mengganggu karena sifatnya yang begitu baik, sangat baik, terlalu baik. Dalam sekejap masyarakat di sekitar rumahku mengetahui kehebatanku ini dan dari penghasilanku ini aku bisa menyirami sedikit api neraka yang terus membakariku. Neraka dari Ibuku, Tuhanku. Berita yang kukhawatirkan akhirnya datang. Aku terdaftar sebagai DPO

Cerpen: Ibuku, Tuhanku (Part 1)

Ibuku, Tuhanku Namaku Zaky, aku anak kedua dari 4 bersaudara dan aku anak laki-laki satu-satunya. Ini bukan anugrah tapi kuanggap musibah. Sejak kecil aku lihat kelakuan Ibuku yang gila harta dan pujian orang, yang ada di pikiran beliau hanya uang dan uang saja. Sampai akhirnya bapakku sakit dan aku lah yang menjadi tulang punggung keluarga dan menyuapi ibuku dengan uang yang tidak pernah cukup baginya. Aku merasa hidup ini neraka karena tiap hari tak ada yang kupikirkan selain bagaimana cara mendapatkan uang khususnya untuk ibuku. Sampai akhirnya aku bertemu dengan sosok wanita yang membuatku merasa di neraka pun masih ada hembusan angin surga. Sosok itu begitu mempesonaku, senyumnya, tawanya, sikapnya, semua dari dirinya. Kucoba mendekati dan mendekati dan ia pun memberi respon yang kuharapkan. Dan akhirnya kami menjalin hubungan. Sesuai dugaanku Ibu mencurigai tingkahku yang tak biasa dan ia ternyata menyelidiki semua. Namun tidak terduga Ibuku merestui hubunga

Selayang Kisah dari Sudut Kampus

Aku Bermanfaat DitYaRi Suer aku deg-degan banget nunggu hasil UTS Listening ini. Aku benar-benar takut kalo-kalo nilaiku jelek karena aku menyadari hasilnya bakal gitu. Aku sama sekali nggak belajar sehari sebelum UTS. Emang sih aku sedikit meremehkan mata kuliah itu. Just listening gitu lho! cuman aku juga sadar soal UTS kali ini model TOEFL gitu dan sialnya pas UTS tiba-tiba maagku kambuh dan aku sama sekali nggak konsen. Upss sudah hampir separo kelas tapi namaku belum dipanggil-panggil juga. Jangan-jangan nilaiku ancur abis, soalnya orang-orang yang kuanggap pintar udah disebutin di awal. Yakin deh nilaiku bakal buruk. Uh takut banget! “Angginda.” Namaku disebut oleh sang dosen. Aku bergegas maju ke meja beliau. Beliau melihatkan kertas ujianku dan kudapati tinta merah yang merangkai angka 60 besar di sana. Sudah kuduga. Aku berusaha tersenyum seraya kembali ke bangku. “Gimana Nda, bagus ga?” Tanya teman sebangkuku, Moka. Aku menggeleng lemah. Setelah kelas bubar

Suara Hati

Pantaskah Aku? Dita Aditya Putri Kucapai lantai ketiga gedung ini setelah melewati puluhan anak tangga. Dengan perasaan tegang menyelimuti hatiku kupercepat langkah menuju ruangan itu—ruangan tempat aku kan melihat takdir ini ditentukan. Kulihat banyak muda-mudi berkumpul di kiri-kanan jalan yang kulalui. Mereka nampak asyik bertutur satu sama lain. Tujuanku semakin dekat. Aku melangkah ke dalam ruangan itu. Kudapati salah satu gadis yang kukenal tengah sibuk membolak-balikkan lembar demi lembar berwarna hijau. Kutepuk bahunya. ”Ar, semua nilai udah ada?” tanyaku padanya. ”Dua lagi belum, Wirus ama FG.” jawabnya. ”Lihat donk!”selorohku sembari menempatkan diri di sebelahnya, tak peduli dengan seorang laki-laki yang protes dengan senggolanku. Aku ikuti setiap lembaran yang Arti buka, berusaha mencari-cari namaku. Ya Allah tak sesuai harapanku . Batinku menanggapi setiap nilai yang terekam mataku. Ya itulah takdirku. Takdir mendapatkan nilai yang tak begitu sempurna.

Memoar Masa Kuliah

Kuliah? Ow capek! Entah sudah keberapakalinya aku menyerukan kata-kata ini. Swear! Kuliah emang capek, puyeng, stress!  Padahal aku sudah berada di posisi mahasiswa kolot yang harusnya udah get used to sama hari-hari kuliah yang emang begini, but aku kan manusia juga wajar donk capek!  Huh udah hampir jam setengah sembilan. Bentar lagi delapan lima puluh. Aku harus buru-buru cabut supaya nggak telat, dosennya kan on time banget. Satu, dua, tiga, eh koq jadi lupa hitungan anak tangganya ya. Ah bodoh amat yang penting udah sampe di lantai tiga.  Sekali lagi kulirik arloji dan oh tidak sudah jam sembilan! Aku kelamaan jalan kaki! Buru-buru aku berlari ke ruang 140 yang berada di pojok dekat WC cewek (detail sekali). Lorong kelas sudah sepi pasti udah pada masuk semua. Tuh kan bener kelas paling pojok udah ditutup. Aku mengintip dari kaca yang terpasang di pintu. Oh no si bapak dosen udah mulai ngeset in-focus.  Aku segera mengetok pintu dengan halus dan membuka pintu perlahan.  “Assal