Mengenang Bapak (Part 8)

Memutuskan hidup mandiri itu tidak mudah, ferguso. Karena gaji masih pas-pasan Bapak terpaksa sering meminjam uang ke kantor untuk menambah uang kontrakan dan kebutuhan lainnya. Sebenarnya Bapak bisa meminta bantuan orangtuanya, namun Bapak khawatir ada saudaranya yang cemburu. Entah kenapa setiap kai memberi sesuatu untuk kami, nenek dan saudara bapak nampak tidak senang.

Di sisi lain, nenek di Bandung minta bantuan dana untuk membiayai kuliah adik Ibu. Bapak dan Ibu berusaha menyisihkan dana dari gaji yang tak seberapa.

Selain itu saya sering sakit-sakitan. Setiap demam tinggi tubuh saya kejang-kejang. Orang menyebutnya penyakit step. Bapak Ibu hanya mampu membawa saya berobat ke puskesmas, tidak mampu ke dokter anak. Penyakit ini membuat kemampuan berbicara saya terlambat dibandingkan anak seusia saya.

Setiap tetangga yang melihat saya mengatakan bahwa saya mungkin tidak bisa berbicara dengan lancar kelak. Bapak Ibu ikhlas menerima keadaan saya, namun Ibu tetap gigih mengajari saya mengucapkan kata-kata agar kemampuan berbicara saya meningkat.

Pada suatu malam saya mengalami demam tinggi kembali dan step. Saat itu saya berusia dua tahun. Tak lama dari kejang tubuh saya lemas dan dingin, kuku tangan dan kaki menghitam. Bapak meletakkan saya di pangkuan beliau dan memandang pasrah. Ibu mulai menangis di balik bahu Bapak. Bapak menutup kelopak mata saya dan membacakan laa ilaha illallahu. Bapak Ibu pasrah menunggu detik-detik kepergian anak pertamanya pada Sang Pencipta.

@30haribercerita #30haribercerita #30HBC2007 #MengenangBapak #BapakSiagiannor #30HBCApresiasi

Comments