Mengenang Bapak (Part 27-The End)

Sabtu, 2 November 2019


Sekitar pukul 7 selepas isya ada nomor tak dikenal muncul di layar ponsel saya. Semenjak ada kasus dengan seorang kerabat, saya enggan menerima telpon dari nomor tak dikenal, sehingga panggilan masuk itu saya abaikan.

Tak lama adik saya datang dari luar sambil berbicara dengan seseorang di ponsel. Ia terlihat agak panik. "Teh, Bapak Ibu kecelakaan," ucapnya segera setelah menutup ponsel.

Saya langsung terperanjat kaget. Ternyata panggilan masuk tadi berasal dari salah satu kerabat kami di Sampit. Tidak bisa menghubungi saya, beliau beralih ke nomor ponsel adik.

Beliau mengabarkan Bapak Ibu mengalami kecelakaan motor. Seorang pemuda 16 tahun menabrak motor Bapak di pertigaan. Pemuda tersebut dalam keadaan mabuk dan mengendarai motor dengan ugal-ugalan. Bapak saya terpelanting ke jalan dan pingsan seketika, sedangkan Ibu masih sadar namun mengalami cedera berat.

Bingung harus melakukan apa, saya hanya bisa terdiam. Kerabat kembali menelpon adik dan meminta kami segera ke Sampit karena kondisi Bapak sekarat.

Bingung sungguh bingung. Adik saya meminta pendapat dan diputuskan ia ke Sampit malam itu juga. Saya tidak bisa ikut karena berat dengan anak-anak.

Sebelum pergi, saya dan adik berpelukan dan saling menguatkan. Saya masih merasa ada harapan Bapak pulih. Saya yakin.

Saya berusaha menenangkan diri dengan membaca Quran dan berdoa agar keadaan membaik.

Sekitar pukul 10.15 adik menelpon saya. Suaranya lirih.

"Teh, sudah taulah?"

"Apa?"

"Bapak sudah kadida teh, ikhlaskanlah."


Deg. Rasanya ada palu godam raksasa menghantam dada. Secepat itukah? Rasanya belum berbuat apa-apa untuk membalas jasa beliau.

"Innalillahi wa innailaihi rojiun."

"Kalau teteh mau ke Sampit segera siapkan segala keperluan, nanti Giri bantu mesan tiketnya".


Saya menutup ponsel dan menangis. Suami berusaha menenangkan. Namun tak lama adik menelpon lagi.

"Teh, ayo segera putuskan mau ke Sampit apa ngga? Cuma ada waktu sejam untuk menyiapkan dan memesan tiket. Penerbangan ke Sampit jam 6 pagi".

Tak ada waktu untuk menikmati duka ini. Saya harus kembali berpikir jernih. Dengan tangan gemetaran saya meraih pakaian anak-anak, suami dan saya yang ada di lemari untuk dimasukkan segera ke koper. Saya harus pula memesan tiket melalui aplikasi online. Suami tidak bisa membantu karena harus menggendong si bungsu.

Adik lagi-lagi menelpon dan saya mengeluhkan kerepotan. Akhirnya dia memesankan tiket kami sambil menanyakan identitas kami. Ya Allah tak bisakah saya berduka sejenak?

Masih kerepotan dengan persiapan, saya harus mencari lagi siapa yang akan menjaga rumah sementara kami pergi. Suami meminta bantuan keluarganya namun sudah terlalu malam. Qadarullah ada suami sepupu yang baru pulang bekerja dan bersedia menjaga rumah.

Jam 23.30 malam kami meninggalkan Lembang dengan bawaan seadanya menuju pool travel.

Jam 24.00 kami menuju Bandara Soetta.

Selama perjalanan saya merenung, apakah ini hanya mimpi?

Minggu, 3 November 2019

Kami tiba di Bandara Soetta pukul 03.00 dini hari. Wajah kami terlihat mengantuk dan lelah, namun tidak dengan wajah anak-anak saya. Si sulung terlihat bersemangat setelah tau kami akan berangkat naik pesawat. Hiburan di tengah kesedihan.

Jam 06.00 lewat kami terbang ke Sampit. Inilah pertama kalinya saya pulang ke Sampit dengan perasaan sedih dan tidak bersemangat.

Sesampai di Bandara H. Asan kami disambut kerabat yang langsung mengambilh alih pengambilan koper dan kerabat lainnya mengajak kami langsung ke mobil karena Bapak sudah mulai dimandikan.

Sepanjang jalan rasanya tak karuan. Walaupun saya tidak menangis, tapi hati ini sungguh sedih.

Mobil yang membawa kami berbelok ke jalan rumah orangtua saya. Dari jauh sudah terlihat kibaran bendera hijau di pagar rumah. Orang-orang sudah banyak berkumpul.

Kami segera turun dari mobil sesampai di sana. Adik langsung dibawa masuk ke tempat pemandian bapak, sedangkan saya menemui Ibu yang terbaring di sebuah kasur di ruang keluarga, terlihat kaki kanan beliau disangga kayu.

Ibu menyambut saya dengan tangisan pilu sambil menyebut-nyebut Bapak. Saya memeluk beliau dan menumpahkan tangis saya yang sejak tadi saya tahan. Namun saya langsung mengatakan pada diri sendiri harus kuat. Setiap orang pasti akan merasakan kematian dan inilah giliran bapak.

Kemudian saya melihat pemandian jasad Bapak. Tak menyangka pertemuan Juni lalu adalah pertemuan terakhir bersama Bapak dalam keadaan hidup.

Setelah pemandian, Bapak dikafani. Kemudian satu per satu keluarga dekat mencium kening Bapak sambil mendoakan beliau. Tak lama kemudian jasad berbalut kafan dimasukkan perlahan ke dalam peti.

Salah satu pengurus fardu kifayah menanyakan ke Ibu apakah Bapak langsung dibawa ke pemakaman setelah disholatkan atau dibawa lagi ke rumah? Sambil terisak ibu bilang ikhlas bawa langsung dimakamkan.

Saya dan suami tidak bisa ikut ke masjid dan pemakaman karena dua krucil tidak mau ditinggal.

Alhamdulillah banyak jamaah yang ikut menyolatkan Bapak karena qadarullah hari minggu jadi banyak yang libur kerja.

Para pelayat pun masih berdatangan baik dari pihak keluarga, teman, tetangga. Saya tidak menyangka banyak yang mengenal Bapak. Bahkan keluarga jauh dari luar kota pun menyempatkan datang.

Untuk keperluan pemakaman pun sudah ada yang mengurus dari pihak fardu kifayah masjid, ditambah pihak kantor Bapak, sisanya adik saya menambahi untuk memenuhi amanat Bapak.

Biasanya keluarga kami yang wafat dimakamkan di alkah (tanah pemakaman) keluarga dekat Masjid Jami. Namun Bapak berwasiat ingin dimakamkan di alkah Masjid Babul Jannah. Jadi, makam beliau tidak berkumpul dengan makam keluarga lainnya.

Selamat beristirahat Bapak. Sudah purna baktimu di dunia sebagai seorang anak, saudara, suami, ayah, menantu, mertua, kerabat, pegawai, dan lainnya.

Semoga amal ibadahmu diterima Allah Swt, diampuni dosa-dosa, dijauhkan dari siksa kubur.

Tinggal kami anak-anaknya yang kan terus berdoa agar kelak bisa berkumpul lagi di surga.

Sampai jumpa lagi, Bapak.

Comments